Minggu, 25 Mei 2014

Cerita di Atas Sepeda

Halo, remaja-remaja yang haus akan bahan bacaan yang menarik! Setelah beberapa bulan Site of Interesting Teens' Articles (sebelumnya: S- Inspiring T- A-) sepi artikel, kali ini pass-on akan membagikan sebuah cerpen, "Cerita di Atas Sepeda". Cerita pendek "Cerita di Atas Sepeda" adalah cerpen karya Amarta Sadwika Sukma, Putu dan sudah dipublikasikan sebelumnya di Majalah Citra Remaja Media Komunikasi SMP Negeri 1 Singaraja Edisi Juli-Desember 2013. Bagi teman-teman yang belum baca, silahkan klik judul posting atau "lanjut baca" untuk membaca.
*PERINGATAN: Penyalinan sebaiknya menyertakan nama pengarang (Amarta Sadwika Sukma, Putu) dan link sumber (Site of Interesting Teens' Articles) sebagai etika penyalinan di dunia maya. Terimakasih!


"Bangun, Kak! Bangun! Udah jam 7 nih!,” suara adikku memecah tidurku. Tak sempat aku berkata bahkan hanya sekedar terimakasih untuknya. “Ya Tuhan, bagaimana mungkin aku telat bangun?,” pikirku. Tak sampai 5 menit, kakiku sudah bersiap di pedal sepedaku. Namun, suara ibuku menghentikan gerakku,“Mau kemana? Gak sarapan dulu?”. “Gowess, Bu. Gak usah lah. Udah telat nih. Nanti makan di jalan aja,” jawabku. Tak pernah sebelumnya aku berbohong pada ibuku, namun hari ini, mungkin suatu saat ibu akan mengerti dan memaafkanku.
Kukayuh sepedaku dengan kencang. Tak kupikirkan perutku yang kosong ini. Awan mendung di atas kepalaku seakan bersimpati denganku. Menit-menit itu, aku masih menyesali kemalasanku pagi ini. Memang, kemarin adalah malam yang panjang. Namun, kupikir hal itu tak layak kujadikan alasan di hari yang sangat penting ini. Jujur saja, aku pun tak tahu mengapa kuanggap hari ini sangatlah penting. Aku tak tahu yang kulakukan sekarang, entah itu benar atau salah. Kemana aku pergi hari ini? Saat memikirkan itu, tak sengaja mulutku berkata, “Yang benar saja!”
Keraguan melintas di kepalaku. Entahlah, mungkin lebih tepatnya aku bingung. Apakah itu sebuah kesadaran bahwa jalan ini salah atau hanya godaan yang melintas, aku memutuskan untuk berhenti. Aku berusaha berpikir dengan otakku. Hatiku terlalu banyak ambil andil belakangan ini. Namun, entah itu hasil keputusan otakku atau hanya kata hatiku, kukayuh sepedaku lagi. Dengan tujuan yang sama, tujuan yang tak kuketahui mengapa aku harus ke sana dan meninggalkan sarapan pagi yang lezat buatan ibuku. Beberapa meter setelah tempatku berhenti tadi, aku berhenti lagi. Bukannya aku bingung lagi, justru kini hatiku mantap, dan otakku kompak bersamanya. Aku membuka tas eiger kecilku dan kulihat apakah barangnya sudah kubawa. Syukurlah, Tuhan menghendaki ini.
Lima belas menit sudah sejak aku meninggalkan rumahku. Kupikir sepuluh lagi dan aku akan sampai di depan rumahnya. Kulihat arloji hitamku. Oh tidak, aku telat satu jam dari janjiku. Kuharap dia mau menunggu walaupun aku tahu dia cukup bijak untuk lebih memilih tidak ketinggalan pesawat. Aku mengayuh sepedaku lebih cepat lagi walaupun kurasa tak ada cukup tenaga lagi untuk itu. Saat itu aku sadari, hati itu memberikan energi yang tidak diberikan perutku. Beberapa meter lagi dan aku sampai.
Rumah yang besar itu tampak sepi. Sejenak muncul rasa takut dalam benakku. Mungkinkah dia sudah pergi? Entahlah, aku tak tahu. Aku harus bersiap untuk kemungkinan terburuk. Aku hanya berdiri di depan gerbang rumah itu sampai seseorang keluar dari rumah dan masuk ke mobil. Aku pikir itu dia. Leganya! Sedetik kemudian aku mengambil ponsel samsungku yang belum sempat kubuka dari tadi untuk menghubunginya. Hancur aku saat aku membaca sms darinya. “Maaf, kak. Tadi aku telepon gak diangkat. Ternyata pesawatnya jam 10. Aku udah jalan. Jadi gak usah ke rumah tanteku ya… Makasi untuk semuanya ya kak! Oh iya, Tintinnya dibawa aja. Pakai kenang kenagan. Bye! I’ll miss you… :*” Mobil itu pun keluar dari rumah itu. Aku melihat mobil itu seakan dia di dalamnya dan SMSnya hanyalah sebuah kebohongan. Namun aku begitu bodoh, mana mungkin itu terjadi.
Perjalanan pulang terasa sangat berat. Kakiku lemas dan air mataku mulai menetes. Langit pun bersimpati denganku sampai terasa aku mulai basah. Hatiku tak mampu membendung terlalu banyak rasa. Tak ada lagi energi dari sana dan perutku pun sudah kosong. Tiada hal lain yang dapat kulakukan selain mendengarkan lagu sambil mengenang semuanya kembali.
Teman-temannya memanggilnya Laksmi. Aku pikir dia tak terlalu cantik ataupun pintar. Bukan juga anak yang populer di sekolah. Namun namanya tak berbohong, Laksmi selalu dapat membuatku bahagia. Pertama bertemu, memang itu sebuah ketidaksengajaan. Tetapi, bukankah ketidaksengajaan sering kali membuahkan hal-hal besar? Kami jarang bertemu karena ia kelas VII dan aku kelas VIII. Tentunya kami terlihat masih sangat muda dengan seragam putih biru itu. Namun, tidak ada yang terlalu muda untuk saling menyukai. Kami hanya bertemu beberapa hari seminggu pada sore hari. Itu pun untuk pembinaan, karena kami berada di bidang lomba yang sama. Setiap bertemu, aku tak lupa untuk meledek dan mempermainkannya. Aku dan beberapa temanku kemudian tertawa, namun ia hanya tersenyum masam padaku. Mengingat hal itu, aku hanya bisa tersenyum dan tertawa kecil sambil mengayuh sepedaku di jalanan kota. Tak peduli apakah orang-orang menganggapku sudah gila.
Hari demi hari, kami semakin akrab. Setelah SMS, chattingan menjadi rutinitasku dengannya. Sampai Senin itu, aku menyatakan aku suka padanya. Saat saat yang mendebarkan, namun hatiku bersorak saat dia menyatakan perasaan yang sama. Cinta monyet pun terjalin walau kami bukan monyet. Sejak saat itu, hubungan kami semakin dekat atas dasar suka sama suka. Cinta? Yang benar saja! Kami masih terlalu kanak-kanak untuk hal itu meskipun kata I Love You sudah sering terucap. Hari-hariku kemudian berlalu dengan manis bersamanya. Banyak hal indah kita lewati bersama. Kadang marahan, namun aku selalu tak kuat lama-lama bertengkar dengannya. Semua kenangan itu tak dapat kuceritakan satu-satu, yang jelas semuanya berjalan begitu seru dan sangat mengesankan. Aku tak bisa menuliskannya menjadi sebuah rangkaian kata, namun aku yakin semua orang akan mengerti.
Aku pun mengayuh sepedaku melewati sebuah trotoar di kota. Aku ingat, di sanalah aku tahu bahwa ia tak akan terus tinggal di Bali. Laksmi adalah seorang perempuan yang tangguh, mandiri, dan menyukai tantangan. Sejak SMP, ia tinggal di kotaku yang jaraknya ribuan kilometer dari mama, papa, dan adik-adiknya. Pada saatnya nanti ia akan kembali ke kota asalnya. Setelah lulus SMP adalah waktu yang menurutnya tepat. Aku mengetahui hal itu tepat di tempatku menghentikan sepedaku saat ini dari seorang teman baiknya. Terkejut memang, apalagi saat itu hubungan kami sedang tak baik. Itulah kenyataan, kadang sesuatu yang indah menjadi terlalu indah untuk berakhir dengan indah pula. Kecemasan pun meliputiku detik-detik berikutnya. Dia akan pergi. Tetapi aku mencoba mengambil sisi positifnya, sejauh ini ia telah berhasil memotivasiku dan mewarnai hari-hariku.
Lima belas bulan sudah sejak hari Senin yang membahagiakan itu. Dan kini aku melewati gerbang sekolahku tempat ia terakhir kali melihatku mengenakan celana pendek biru itu. Iya, kenyataan yang terjadi adalah aku yang harus meninggalkannya lebih dulu. Tak mungkin aku berharap tak lulus. Setidaknya, meninggalkan lebih baik daripada ditinggalkan. Setelah itu, aku diterima di SMA favorit di kotaku. Yang tak dapat kusangka adalah kami masih bersama meski jarang bertemu kecuali melalui jejaring sosial. Kini aku merasa pantas bagi cinta remaja. Aku sudah mengenakan celana panjang abu-abu, walaupun roknya masihlah berwarna biru. Hari-hari berikutnya memang tak seindah sebelumnya, namun tetaplah berwarna karena ia tetap bersamaku.
Waktu berlalu begitu cepat dan kini saatnya ia yang pergi. Setelah acara perpisahan hari ini, ia akan pergi besok. Aku tak mampu menjelaskan perasaanku waktu itu. Semuanya bercampur. “Mengapa secepat ini?” pikirku. Malam minggu itu sungguh terasa panjang. Aku chattingan dengannya sepanjang malam seakan tak ingin berpisah. Saat aku melihat ke rak buku di kamarku. “Aduh, lupa aku kembaliin,” kataku ketus. Sebuah buku komik serial Tintin terlihat jelas dari tempatku berbaring. Aku berjanji akan mengembalikannya besok pagi jam setengah tujuh sebelum ia berangkat ke bandara. Aku tak ingat jam berapa, kemudian aku tertidur malam itu setelah mengucapkan “Good night! Sweet dream!” padanya. Itu akan menjadi chat terakhirku dengannya karena setelah itu aku menghapus akun Lineku yang kuanggap tak penting lagi setelah kepergiannya.
Dan sampailah aku pada hari ini. Setelah lelah mengayuh sepeda, aku pun sampai di rumah dengan keadaan agak basah karena hujan yang semakin deras di sepanjang jalan. Aku mengeringkan tubuhku dan tanpa kuhiraukan semua pertanyaan padaku, aku membaringkan tubuhku di kamarku. Memikirkan sejenak apa yang sudah kualami dan menghapus air mataku. Mencoba berimajinasi mungkinkah cerita ini berlanjut? Ataukah ini sebuah akhir? Akhir dari pengalaman cintaku, cerita di atas sepeda. Di dalam lubuk hatiku, aku berharap cerita ini dapat berakhir bahagia. Mataku pun terpejam, begitu pula hati dan pikiranku menutup pagiku yang melelahkan ini.

Selesai
Karya: Amarta Sadwika Sukma, Putu
Terimakasih telah membaca! Semoga terhibur!
*PERINGATAN: Penyalinan sebaiknya menyertakan nama pengarang (Amarta Sadwika Sukma, Putu) dan link sumber (Site of Interesting Teens' Articles) sebagai etika penyalinan di dunia maya. Terimakasih!
Baca juga: Cerita di Atas Sepeda II dan Cerita di Atas Sepeda III

0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright 2009 PASS-ON. Powered by Blogger
Blogger Templates created by Deluxe Templates
Blogger Showcase